Panggilan Haji Menggali Makna di Balik Seruan Nabi Ibrahim


Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E
Dosen FEBI UIN Saizu Purwokerto


Ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk membangun Ka’bah di tengah padang gersang Makkah, tugas itu sudah cukup berat. Namun, tugas berikutnya bahkan lebih ganjil: menyeru umat manusia untuk datang berhaji ke tempat yang belum dikenal, di tanah yang nyaris tidak berpenghuni. Allah berfirman:

“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh.”
(QS Al-Hajj: 27)

Ayat ini mengandung mukjizat luar biasa: seruan Ibrahim sampai ke telinga umat manusia sepanjang zaman. Dalam sebuah pengajian tafsir, Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengisahkan tafsir yang menggugah hati tentang bagaimana Allah mewujudkan seruan itu.

Menurut Abuya, Nabi Ibrahim naik ke Jabal Qubais, lalu menghadap ke empat penjuru mata angin dan menyeru manusia agar mendatangi Baitullah. “Ya ayyuhan naas, kutiba ‘alaikum al-hajj ila baytillah al-haram.” Tapi bagaimana mungkin suara beliau sampai ke manusia di seluruh zaman?

Di sinilah letak kekuasaan Allah. Allah yang menyampaikan panggilan itu bukan hanya kepada manusia yang hidup saat itu, tapi juga kepada ruh-ruh yang masih berada di alam dzarrah, alam tempat janji manusia kepada Allah diambil.

Kata Abuya, saat seruan itu disampaikan, semua ruh manusia mendengarnya. Ada yang menjawab sekali: “Labbaik Allahumma labbaik,” dan Allah menakdirkan dia hanya akan berhaji sekali. Ada yang menjawab dua kali, tiga kali, dan seterusnya. Bahkan, ada yang mendengarnya tapi tidak menjawab sama sekali maka ia tidak akan pernah berhaji dalam hidupnya.

Kisah ini bukan sekadar cerita spiritual. Ia adalah panggilan iman. Ia menggugah hati kita: apakah kita telah menjawab panggilan itu atau belum? Bila belum, mungkinkah kita sedang menunda-nunda panggilan yang sebenarnya sudah pernah kita dengar jauh sebelum dilahirkan ke dunia?


Haji Itu Keyakinan, Bukan Sekadar Kemampuan

Dalam kehidupan modern, kata “mampu” sering disempitkan pada hal finansial. Orang hanya akan mendaftar haji kalau sudah ada uang. Bahkan tak jarang orang menunggu “panggilan hati” yang entah datang kapan. Namun pandangan ini perlu diluruskan.

Haji bukan sekadar menunggu, tapi tentang keyakinan. Keyakinan bahwa kalau kita memang termasuk yang pernah menjawab seruan Nabi Ibrahim, maka Allah akan memudahkan jalannya. Bukan berarti melanggar syariat atau memaksa diri, tapi berprasangka baik kepada Allah dan terus bergerak menuju kebaikan.

Seringkali, jalan menuju haji itu terbuka ketika kita berniat kuat dan melangkah lebih dulu. Ada yang mendaftar haji dengan uang pas-pasan, tapi akhirnya dimampukan. Ada yang awalnya hanya jadi pendamping jamaah, lalu ditakdirkan berhaji. Banyak kisah yang menunjukkan bahwa “haji itu tidak selalu mahal”, haji itu tidak selalu harus “menunggu tua” atau “menunggu cukup mapan.”

Yakinlah:
    •    Haji itu aktifitas terbuka, bukan rahasia dan tidak perlu ditunda-tunda.
    •    Haji itu tidak hanya butuh niat dan biaya, tapi juga keberanian dan harapan besar kepada Allah.
    •    Jangan terjebak pada pikiran, “jangan-jangan nanti begini” atau “bagaimana kalau begitu?” karena risiko ada di semua jalan hidup, bahkan pada orang yang tidak berniat haji sekalipun.


Syariat Haji Itu Tauqifiyah: Tak Bisa Diubah atau Dikreasikan

Abuya juga mengingatkan: fiqih harus tetap pada ranahnya. Haji adalah ibadah tauqifiyah, artinya segala bentuk pelaksanaannya telah ditentukan oleh syariat: waktu, tempat, dan tata cara tidak bisa diganti.

Haji tidak bisa diganti tempatnya ke Monas, tidak bisa dipindahkan bulannya, dan tidak bisa disesuaikan dengan kemauan manusia.
Haji bukan seperti syariat ghoiru tauqifiyah yang bisa dikreasikan: seperti sedekah, ukhuwah, atau silaturahim.

Haji adalah bentuk penghambaan paling sempurna dalam ranah ritual. Ia menuntut ketundukan total kepada syariat. Maka, tidak boleh ada upaya menyesuaikan syariat ini atas nama modernisasi atau kemudahan semata. Modernisasi boleh masuk dalam aspek teknis (transportasi, akomodasi), tapi tidak boleh mengubah substansi ibadah haji itu sendiri.


Tanda-Tanda Haji Mabrur

Haji bukan hanya perjalanan fisik, tapi perjalanan jiwa menuju maqam ubudiyah tertinggi. Dan bukan semua haji otomatis mabrur. Maka penting kita renungi tanda-tanda haji yang diterima (mabrur), seperti disabdakan Nabi SAW:

“Al-hajju al-mabrur laysa lahu jaza’un illa al-jannah”
“Haji yang mabrur tidak ada balasannya selain surga.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Apa saja tandanya?
    1.    Dana haji berasal dari harta halal. Haji dengan uang haram akan menjadi tamasya mahal tanpa nilai spiritual.
    2.    Manasik dijalankan sesuai syariat, bukan sekadar formalitas.
    3.    Sepulang dari haji, akhlaknya lebih baik. Ia menjadi pribadi yang lebih jujur, sabar, rendah hati, dan konsisten dalam ibadah.

Haji mabrur adalah saat jiwa berubah, bukan sekadar status sosial bertambah. Haji mabrur menandai bahwa haji bukan hanya selesai di Mina, Arafah, atau Mekkah, tapi terus berlanjut dalam keseharian setelah pulang.


Jangan Takut Melangkah, Jangan Tunda Jawaban

Maka, bagi siapa saja yang merasa belum pernah berhaji, jangan gentar. Mungkin Anda adalah salah satu yang dulu menjawab “labbaik” saat seruan Nabi Ibrahim berkumandang. Tinggal satu hal: jawaban itu harus diwujudkan dalam tindakan nyata.

Haji itu tidak selalu dimulai dengan kaya raya, tapi dengan keyakinan.
Haji itu bukan tentang menunggu tua, tapi tentang kesiapan jiwa.
Haji itu bukan urusan politik, tren, atau gaya hidup tapi jawaban atas panggilan Allah yang paling tulus dan terdalam.

Mari bersihkan niat, luruskan cara, dan mulai melangkah.
InsyaAllah, jika kita termasuk yang menjawab “labbaik”, maka Allah akan membuka jalan dari penjuru yang tak disangka-sangka.

“Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh…”
QS Al-Hajj: 27

Semoga Allah menakdirkan kita semua sebagai tamu-tamu-Nya, dan menerima hajimu sebagai haji yang mabrur, yang tidak ada balasannya kecuali surga. Aamiin.

Kisah seruan Nabi Ibrahim bukan hanya dongeng spiritual, tapi cermin panggilan hidup kita hari ini. Apakah kita mendengar dan menjawabnya? Ataukah kita berpaling dan menundanya?

Haji adalah syariat agung maka hadapilah dengan agung pula:
Dengan niat yang tulus, cara yang benar, dan harapan yang tak putus kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Labbaik Allahumma Labbaik! ***


https://uinsaizu.ac.id/panggilan-haji-menggali-makna-di-balik-seruan-nabi-ibrahim-1778