Menginspirasi Lahirnya Ulama Perempuan Pembaharu di Indonesia Refleksi dari Kisah Sayyidah Khadijah


Intan Diana Fitriyati, M.Ag. 

Hari ini, dosen tak masuk karena ada keperluan mendadak. Akhirnya, aku pun pulang lebih awal dari biasanya. Jalan pulang yang biasa kulewati terasa lebih sunyi, mungkin karena tak ada lagi kuliah yang menunggu. Sesampai di rumah, laptop menjadi sasaran pertama untuk mencari hiburan. Kubuka file-file lama yang tersimpan rapi di dalamnya. Mataku tertuju pada satu file mp3 berjudul نتوسل بالحبابة (Natawassal bil Hubabah), sebuah kasidah berbahasa Arab yang bercerita tentang sosok wanita mulia sepanjang zaman. Rindu rasanya mendengarkan syair indah itu lagi. Mungkin bisa menghibur hati dan mengistirahatkan mata, pikirku. Akhirnya, kasidah itu pun kuputar.

Sambil berbaring di kasur, kupejamkan mata dan membiarkan pikiranku mengikuti alunan kasidah yang syahdu. Kasidah ini seolah membawaku kembali ke masa 1.400 tahun lalu, mengingatkan kembali berbagai riwayat tentang kemuliaan sosok istri Rasulullah yang dipuja-puji dalam syair tersebut. Ya, dialah Sayyidah Khadijah Al-Kubra binti Khuwailid, istri pertama Rasulullah, cinta pertama sang Rasul yang tak pernah padam dan tergantikan.

Teringat satu riwayat yang pernah disampaikan oleh seorang guru. Rasulullah ﷺ senantiasa menyebut nama Khadijah setiap kali beliau keluar rumah. Sampai-sampai, hal ini membuat Sayyidah Aisyah, istri beliau yang lain, merasa cemburu. Suatu kali, Sayyidah Aisyah berkata dengan nada kiasan, "Bukankah Allah telah menggantikan untukmu kebun yang hijau lagi indah, mengapa kamu masih memikirkan kebun kering yang sudah binasa?" Maksudnya, Aisyah masih muda dan hidup, sementara Khadijah telah wafat.

Mendengar itu, Rasulullah ﷺ marah hingga rambut beliau bergetar. Beliau menjawab dengan tegas, "Tidak! Demi Allah, tidak ada ganti yang lebih baik daripadanya. Dia beriman ketika semua ingkar. Ia membenarkanku kala semua orang mendustakanku. Ia mencurahkan hartanya ketika orang lain tidak. Darinya Allah mengaruniakan aku anak, dan perempuan lain tidak." Kata-kata itu membuat Aisyah paham betapa tingginya kedudukan Khadijah di hati Rasulullah.

Sayyidah Khadijah meninggal dunia pada tanggal 10 Ramadan tahun kesepuluh kenabian, di usia 65 tahun. Beliau meninggalkan lima anak bagi Rasulullah. Kepergiannya membuat Rasulullah begitu bersedih, hingga tahun itu disebut sebagai 'amul huzn (tahun kesedihan). Bahkan, suatu hari, Rasulullah bergetar dan jantungnya berdetak lebih cepat ketika mendengar suara seorang perempuan yang mirip dengan suara Khadijah. Beliau segera menghampiri sumber suara itu, meski tahu Khadijah telah tiada. Ternyata, suara itu berasal dari Halah, saudara perempuan Khadijah.

Riwayat lain yang terkenal adalah ketika Fathul Makkah (penaklukan kota Makkah). Rasulullah memilih mendirikan tenda di dataran tinggi Hajun, tempat Khadijah dimakamkan, seraya berkata, "Khadijah... Khadijah... Khadijah sedang terbaring di sini." Hajun, yang awalnya hanyalah dataran tinggi berbatu, menjadi tempat yang mulia dan harum sejak Khadijah dimakamkan di sana.

Kisah kemuliaan Sayyidah Khadijah ini bukan sekadar cerita masa lalu. Ia adalah inspirasi bagi kita, terutama perempuan, untuk memahami peran strategis dalam membangun peradaban. Sayyidah Khadijah adalah contoh nyata bagaimana perempuan bisa menjadi tonggak utama dalam penyebaran Islam. Beliau adalah sosok yang mendukung Rasulullah di awal kenabian, baik secara moral maupun materi. Ketika Rasulullah masih muda dan belum memiliki posisi penting dalam struktur sosial Arab, Khadijah lah yang memberinya dukungan penuh. Beliau adalah saudagar sukses yang meminang Rasulullah karena melihat kejujuran, kelembutan, dan kesungguhannya.

Pernikahan mereka ibarat pertemuan antara intan berlian dan mangkukannya. Khadijah tidak hanya menjadi istri, tetapi juga pendukung utama dalam perjuangan Rasulullah menyebarkan Islam. Beliau adalah perempuan pertama yang beriman kepada Rasulullah, membenarkannya ketika orang lain mendustakan, dan mencurahkan hartanya untuk perjuangan Islam. Tanpa dukungan Khadijah, mungkin perjalanan dakwah Rasulullah akan lebih berat.

Kisah Sayyidah Khadijah seharusnya menjadi momentum pembelajaran penting bagi kita, terutama di Indonesia, untuk menghapus stigma yang mencoba mendomestifikasi perempuan. Pertanyaan seperti, "Apakah perempuan lebih baik bekerja atau di rumah?" atau "Shalat di masjid atau di rumah?" sebenarnya telah terjawab dengan melihat kehidupan Khadijah. Beliau adalah perempuan mulia, istri Rasulullah, bangsawan, dan saudagar sukses yang mendukung gerak langkah Rasulullah di awal kenabian.

Islam tidak membatasi peran perempuan. Justru, Islam mendukung perempuan untuk berkontribusi dalam berbagai bidang, termasuk keilmuan, ekonomi, dan sosial. Sayyidah Khadijah adalah bukti nyata bahwa perempuan bisa menjadi agen perubahan, pendukung utama dalam membangun peradaban. Beliau adalah contoh bahwa perempuan tidak hanya bisa bekerja profesional, tetapi juga menjadi penyebar kemanfaatan dan nilai-nilai agama.

Di Indonesia, kita membutuhkan lebih banyak ulama perempuan pembaharu yang bisa menginspirasi dan memimpin perubahan. Perempuan yang tidak hanya pandai dalam ilmu agama, tetapi juga memahami konteks sosial kemasyarakatan. Perempuan yang bisa menjadi garda terdepan dalam menyebarkan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil 'alamin, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayyidah Khadijah.

Mari kita jadikan kisah Sayyidah Khadijah sebagai inspirasi untuk melahirkan ulama-ulama perempuan pembaharu di Indonesia. Perempuan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki ketajaman spiritual dan kepedulian sosial. Perempuan yang bisa menjadi agen perubahan, membawa kemaslahatan bagi umat dan bangsa.

Selamat Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2025. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dari kisah Sayyidah Khadijah dan berkomitmen untuk melahirkan generasi perempuan yang kuat, cerdas, dan penuh kasih, demi kemajuan peradaban Islam di Indonesia. ***

*Alumni UIN Saizu Purwokerto


https://uinsaizu.ac.id/menginspirasi-lahirnya-ulama-perempuan-pembaharu-di-indonesia-refleksi-dari-kisah-sayyidah-khadijah-1586