Hari Buruh Berdasarkan Tinjauan Hak Buruh dalam Islam


Oleh: Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E
Akademisi UIN Saizu Purwokerto

Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional—hari yang menjadi simbol perjuangan kelas pekerja untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka. Namun di tengah gegap gempita perayaan May Day, realita buruh di negeri ini kerap memantulkan wajah muram: pemutusan hubungan kerja massal, sistem kerja outsourcing yang menindas, dan upah minimum yang jauh dari kata layak. Dalam situasi ekonomi yang sedang tidak stabil, buruh menjadi pihak yang paling mudah dikorbankan. Lalu, bagaimana Islam, khususnya al-Qur’an, memandang relasi antara buruh dan majikan?

Dalam perspektif al-Qur’an, relasi kerja tidak dipandang semata sebagai kontrak ekonomi, tetapi juga sebagai tanggung jawab moral dan spiritual. Al-Qur’an tidak hanya mengatur hubungan kerja dalam bingkai upah dan tenaga, tapi juga menekankan nilai-nilai keadilan, kasih sayang, dan penghormatan atas kemanusiaan.

Nafas Keadilan dalam al-Qur’an

Al-Qur’an banyak menggunakan istilah yang erat kaitannya dengan relasi kerja dan balasan, seperti ajr (upah), mizan (timbangan), hisab (perhitungan), dan sawab (balasan). Semua istilah ini menggambarkan satu hal: keadilan. Dalam QS. Al-Muthaffifin ayat 1-3, Allah mengecam keras orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang, sebuah gambaran nyata dari ketidakadilan ekonomi.

Praktik ekonomi yang eksploitatif dikecam dalam banyak ayat, seperti larangan menimbun kekayaan (QS. Al-Humazah), larangan riba (QS. Ar-Rum:39), hingga kecaman terhadap mereka yang lalai terhadap orang miskin dan yatim (QS. Al-Ma’un). Dalam konteks ini, al-Qur’an memihak mereka yang terpinggirkan secara struktural, atau dalam istilahnya: mustad’afin, dan mendorong mereka untuk membebaskan diri dari penindasan para mustakbirin (QS. An-Nisa:75).

Hak Buruh dalam Perspektif Wahyu

Banyak ayat dan hadits memberikan pembelaan yang terang-benderang terhadap hak-hak buruh. QS. Al-Qashash ayat 26 misalnya, mengisahkan bagaimana Nabi Musa bekerja untuk seorang majikan, dan bagaimana upah serta masa kerja ditentukan secara adil. Ini menunjukkan bahwa Islam menghargai relasi kerja yang saling menguntungkan dan transparan.

Hak-hak buruh dalam pandangan Islam antara lain:
    •    Hak atas upah yang layak (QS. Al-Ahqaf:19): Upah harus sebanding dengan nilai kerja, bukan sekadar ‘minimum’.
    •    Hak atas perlindungan sosial (QS. An-Nur:33): Negara dan masyarakat wajib melindungi pekerja dari kehinaan ekonomi.
    •    Hak atas waktu istirahat (HR. Bukhari): Rasulullah SAW bersabda agar buruh tidak dipaksa melebihi batas kemampuannya.
    •    Hak atas keamanan dan keselamatan kerja: Islam melarang segala bentuk kekerasan atau eksploitasi terhadap pekerja.

Bahkan Rasulullah SAW bersabda, “Buruh adalah saudaramu, Allah menjadikannya di bawah kekuasaanmu. Maka, berilah dia makan seperti kamu makan, dan pakaian seperti kamu berpakaian. Janganlah membebaninya di luar kemampuannya, dan jika kamu membebaninya, bantulah dia” (HR. Bukhari).

May Day dan Wajah Keadilan yang Terluka

Sayangnya, nilai-nilai luhur tersebut sering terabaikan dalam praktik kehidupan modern. Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah seringkali tidak cukup untuk menutupi biaya hidup layak. Di sisi lain, para eksekutif bisa menerima bonus miliaran rupiah dalam satu tahun. Jurang keadilan ini menciptakan ketimpangan sosial yang menganga.

Dalam QS. Al-Hasyr:7 Allah mengingatkan, “Kayla yakuna dulatan bainal aghniya’i minkum” agar harta tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja. Prinsip ini seharusnya menjadi dasar kebijakan ketenagakerjaan di negeri ini. Tanpa distribusi kekayaan yang adil, kesejahteraan bersama hanya akan menjadi ilusi.

Dari Lapangan Monas ke Lembaran Sejarah

Tahun ini, ratusan buruh berkumpul di lapangan Monas sejak dini hari, menyuarakan aspirasi mereka: penghapusan sistem outsourcing, pembentukan satgas PHK, pengesahan RUU Ketenagakerjaan dan RUU PPRT, serta perlindungan dalam transisi menuju ekonomi hijau. Ini adalah bukti bahwa buruh bukan hanya mesin ekonomi, tetapi juga aktor sosial yang sadar akan hak dan masa depannya.

Namun sayangnya, banyak juga agenda formal May Day yang justru menjauhkan buruh dari perjuangannya. Kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial seperti memancing atau joget bersama kerap dimanfaatkan untuk meredam aspirasi nyata buruh. Padahal May Day adalah momen historis perjuangan, bukan liburan biasa. “May Day is not holiday!” seru mereka.

Meneladani Rasulullah dalam Memuliakan Buruh

Rasulullah SAW adalah teladan dalam memperlakukan buruh. Beliau tidak pernah menunda upah pekerja, tidak membebani mereka melebihi batas kemampuan, dan memperlakukan mereka sebagai manusia seutuhnya.

Sebuah teladan yang sangat relevan di era kapitalisme digital yang sering memperlakukan buruh hanya sebagai angka-angka produktivitas.

Bayangkan jika semangat ini benar-benar diterapkan dalam sistem ketenagakerjaan kita. Tidak ada lagi buruh yang bekerja siang malam tanpa jaminan kesejahteraan. Tidak ada lagi pengusaha yang semena-mena memutus kontrak kerja. Dan tidak ada lagi negara yang abai terhadap nasib para pekerjanya.

Penutup

Hari Buruh Internasional adalah hari pengingat bahwa tidak ada pembangunan tanpa buruh. Mereka adalah fondasi ekonomi, kekuatan sosial, dan harapan masa depan.

Al-Qur’an dan teladan Rasulullah SAW telah memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana memperlakukan buruh secara adil dan manusiawi.

Sudah saatnya kita kembali kepada nilai-nilai wahyu. Memberi upah sebelum keringat mengering, memperlakukan buruh sebagai saudara, dan menjamin hak-haknya sebagai manusia. Karena di mata Islam, buruh bukan hanya alat produksi, tapi juga pemilik kehormatan dan harga diri.

Selamat Hari Buruh Internasional.

Semoga keadilan sosial benar-benar menjadi kenyataan, bukan sekadar slogan.

Salam perjuangan, salam keadilan.***


https://uinsaizu.ac.id/hari-buruh-berdasarkan-tinjauan-hak-buruh-dalam-islam-1673