1st DASINCO of 2023 : Bersama Membangun Konsep Demi Solusi di Tengah Dunia Yang Pelik
Oleh: Oki Edi Purwoko*)
Masyarakat sekarang hidup dalam hiruk-pikuk ruang siber dan media dengan tendensi nada yang hampir serupa. Di satu sisi cyberspace dan globalisasi memiliki peluang dalam meningkatkan religiusitas seseorang, namun di sisi lain terjadi cultural fragmentation sekaligus hegemoni pada tataran international politics akibat globalisasi yang berbalik aras.
Komunikasi antar budaya yang tak-terelakkan menyebabkan benturan antar ideology sekaligus inter–generational clashes. Budaya non-monotheistik termasuk di dalamnya LGBTQ menyeruak dan menyerbu Gen-Z tanpa ampun. Ditambah lagi perang dan kondisi post pandemi kondisi dunia digambarkan terlalu sering berubah, penuh ketidakpastian sekaligus kompleks dan kacau tidak menentu.
Kondisi dunia yang dikatakan sedang labil tersebut tersebut membutuhkan usaha academic scholar untuk rethink serta reconceptualized seperti dipaparkan Dr. Qaseem Muhammadi dari University of Qom, Iran dalam acara Seminar Internasional Fakultas Dakwah UIN Prof.K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto dengan tema ” Hybrid Culture and New Media in Empowering Islamic Society” , Senin (28/8/23) bertempat di Hall Perpusakaan UIN SAIZU Purwokerto.
Gelaran perdana Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SAIZU ini juga menghadirkan Prof. Dr Abdul Basit, M.Ag Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN SAIZU Purwokerto, Prof. Madya Dr. Nur Kareelawati Binti Abd. Karim dari Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) serta Dr. Azhar Ibrahim Ph.D., dosen National University of Singapore (NUS).
Hybrid Culture dan Manusia Pelintas Batas
Selaras dengan fluiditas informasi dan kelancaran teknologi informasi kini, Azhar Ibrahim menjelaskan bahwa hal tersebut juga membuat tendensi munculnya hybrid culture, suatu percampuran dua atau lebih kebudayaan yang di dalamnya juga berperpadu subculture-subculture yang lebih kecil.
Pada dasarnya semua budaya itu hybrid namun yang menjadi concern adalah hybrid culture yang terjadi di masyarakat sekarang hanya dikonsumsi yang simbolis saja, yang permukaan semata dan bukan yang substantive. “ Misalnya saja, drama Korea kita konsumsi, tapi tidak dengan pemikiran orang Korea-nya,“ papar Azhar.
Kondisi ini akan lebih mudah difahami bila kita menengok karakter asali warganet yang didominasi oleh Gen-Z. Adalah mereka yang lahir antara 1997 – 2001, secara umum lahir di tengah era internet, sangat peduli dengan perubahan iklim, generasi yang progesif secara politis dan percaya bahwa pemerintah memiliki peran yang besar dalam dalam memecahkan berbagai permasalahan di tengah masyarakat dan tidak terlalu mempedulikan perbedaan ras, agama dan bahkan orientasi seksual.
Namun mereka adalah generasi yang berjam-jam menghabiskan waktu online di internet dan menonton Netflix, menjadikan mereka lebih sedikit memiliki waktu untuk menjalin hubungan yang bermakna. “ Mereka adalah generasi yang paling kesepian, ’The loneliest generation’,” ungkap dosen NUS tersebut.
Agar tegak berdiri, Gen-Z idealnya tidak hanya terseret dalam pusaran budaya hybrid, namun mencapai keuntungan dengan merubahnya sebagai budaya yang kreatif. Anak muda juga tidak hanya membiarkan dirinya ter-eksploitasi dengan menjadikan barang-barang consumer goods sebagai representasi identitas diri, atau lebih lanjut menjadi subjek dari yang dikatakan Azhar dari neoliberal market economy.
Namun idealnya anak muda bisa menjadi bagian yang aktif memproduksi ide dan knowledge yang berguna bagi masyarakat banyak. Hal tersebut dapat dicapai dengan memiliki referensi yang bermakna tentang isu – isu popular culture serta kajian – kajian islam.
Terakhir, Azhar menekankan pentingnya konsep “ The Real Border Crossers” yang dia ambil dari pemikiran Henry Giroux. Bahwa untuk bertahan dalam terpaan era informasi ini, generasi muda harus bisa berperan layaknya “pelintas batas”, yaitu mereka yang dianggap Giroux sebagai manusia manusia yang bisa secara luwes keluar-masuk melampaui batas fisik, budaya, dan social tanpa stuck di salah satu bagian tertentu saja.
VUCA World dan Konsep Ummah
Lain dengan Azhar yang menilik banyak kepada perilaku budaya di tengah teknologi informasi, Prof. Dr. Abdul Basit, M.Ag lebih menyoroti konsep ummah sebagai solusi dalam dunia yang bergejolak, suatu VUCA World yaitu volatile, uncertain, complex dan sekaligus ambigu.
Konsep Ummah menurut Dekan Dakwah, disebut 64 kali di dalam Al-Quran. Dengan menilik konsep yang juga dipopulerkan Nabi Ibrahim serta cendekia Islam Ibnu Khaldun. “ Ummah yang dijelaskan di sini lebih kepada social solidarity based on religion tersebut diaplikasikan dalam konteks yang sesuai dengan zamannya,” terang Prof. Basit.
Ummah juga bisa menjadi solusi bila dipadukan dengan spiritual learning dan spiritual society, sebagai elaborasi konsepsi spiritual yaitu hubungan yang sangat personal seorang individu terhadap Tuhannya. Jika Jepang memiliki society 5.0 maka Prof. Basit mengemukakan ide penggabungan konsep spiritual learning dan ummah sebagai sebuah identitas baru dalam masyarakat untuk menghadapi dunia yang susah diprediksi sekaligus labil dan kompleks.
*) Penulis merupakan moderator Dakwah Saizu International Conference (DASINCO)